Soulmate In Barcode
Soulmate In Barcode
Dering jam weker yang
berbunyi keras berhasil membangunkan seorang pemuda yang sedang mengarungi
luasnya lautan mimpi. Satu lagi hari yang menyebalkan. Dengan amarah yang sudah
mencapai ubun-ubun, bukannya mematikan jam weker itu dengan normal, ia malah
langsung melempar jam tidak berdosa itu ke arah dinding kamarnya. Diinjak -
injak jam weker itu tanpa belas kasihan, seakan melampiaskan amarahnya pada
benda berjarum itu. Ia benafas berat,
lebih baik ia segera mandi dan berangkat sekolah daripada terlambat pada
akhirnya. Toh, peduli apa ia dengan jam weker, dilemarinya masih ada selusin
jam yang sama.
Halilintar namanya, ia
memiliki rambut pendek berwarna hitam kelam dengan warna mata merah darah. Oh
ya, ia hidup di zaman dimana setiap pergelangan tangan manusia terdapat suatu
susunan kata-kata yang merupakan kalimat yang diucapkan oleh belahan jiwa atau
soulmate mereka saat mereka pertama kali bertemu. Banyak orang yang menyebutnya
dengan ‘barcode’. Dan sayang sekali,
barcode yang ia miliki bertuliskan " MINGGIR WOY !". Full capslock
dan bertintakan biru. Sumpah dia galau siang malam , sudah barcode yang ia
punya antimainstream, soulmate - nya pun belum juga menunjukkan batang
hidungnya. Belum lagi, teman-temannya yang selalu tertawa saat melihat barcode
yang permanen ditangannya. Tapi mereka langsung berdiam diri saat sebuah perempatan
imajiner menghiasi kepala Halilintar. Oh, ayolah, siapa yang takkan takut saat
ketua klub karate di sekolah mereka sudah mengeluarkan deathglare yang bisa membela
gunung menjadi dua. (?) .
Dengan berat badan,
eh salah, berat hati maksudnya, dilangkahkan kakinya menuju ke gudang ilmu. Dalam
perjalanannya menuju sekolah, ia ditemani oleh adik kandungnya, Shin namanya,
hitam panjang rambutnya, kuning keemasan warna matanya. Oh ya, nama adik
kandungnya terdengar seperti nama orang Jepang bukan? Tapi sebenarnya SHIN itu
singkatan dari Sopan, Humoris, Indah, dan meNawan… Oke, maksa banget singkatannya
. Keduanya berjalan kaki melewati jalan kerja keras hingga ke sekolah mereka
yang berada di jalan capek nomor tujuh belas .
“Oh
ya, Shin. Selamat karena bisa lolos seleksi ketua Osis.”
“Makasih,
Kak Hali.”
Halilintar
tak menjawab. Suasananya hening sebelum akhirinya Shin memutuskan utuk
mencairkan suasana supaya tidak disangka es batu (?).
“Uhm,
Kak Hali…”
“Hn”
“Kemarin
saat aku bertemu Kaizo…”
“Oh,
sainganmu yang berkacamata dan diberi julukan landak ungu itu ?”
“Ya,
dan tolong jangan menghinanya, kak “
“Heh,
memangnya kenapa ?”
Tiba-tiba wajah dari
gadis itu bersemu merah. Oh ,dia malu rupanya saudara-saudara, saya kira dia
tidak punya malu.
“Kemarin…
Dia bilang padaku…’Aku tidak akan kalah
darimu’ “
Telinga
Halilintar memfokuskan perhatian sepenuhnya pada Shin. Tentu saja karena…
“Itu…
Barcodemu, kan?”
Si
gadis dengan iris mata berwarna layaknya langit senja itu hanya mengangguk pelan.
“Terus?”
“Aku
langsung berkata, ’Eh,itu kan barcode ku’.
Dan ternyata barcode miliknya bertuliskan kata-kataku tadi .”
“Memangnya
kalian baru pertama kali bertemu, ya?”
“Ya...
Selama ini aku mendengar mendengar tentangnya dari teman-teman…”
Halilintar
tersenyum tipis akhirnya adiknya menemukan soulmatenya. Namanya KAIZO, yang
lagi-lagi singkatannya Kece Alim pInter Zukses Orangnya. Dan lagi-lagi, singkatannya
antimainsetrum eh ralat, antimainstream maksudnya.
“Kalau
begitu selamat, Shin .“
Bagaimanapun juga,
Halilintar adalah kakak yang baik yang akan bahagia saat melihat adiknya juga
bahagia. Tidak seperti nasib dirinya. Ah, ingatkan jika setelah ini ia harus
bergalau-ria, pasalnya sang belahan jiwa masih otewe diluar sana.
Sesampainya di
sekolah mereka, SMA Raijinshu. Halilintar langsung pergi ke ruang karate,
hendak mengurus jadwal latihan untuk sore nanti katanya. Setibanya ia disana,
tiba-tiba matanya menangkap sosok yang cukup ia kenal, tapi sosok manusia loh
ya, bukan sosok makhluk tak kast mata.
“Yo,
Eren !”
Sapa
Halilintar pada gadis berambut panjang dengan warna mata bak kobaran api. Eren
namanya, ia manajer tim karate.
“Eh,
Hali.”
“Bisa
bicara denganmu, sebentar saja.”
“Ya,
tentu saja .”
“Kau
dengan Rivaille soulmate, kan ?”
“Ah,
iya. Memangnya kenapa ?”
“Bagaimana
kalian bertemu, hm ?”
Halilintar bisa
melihat wajah dari gadis dihadapannya kini berubah menjadi merah padam. Pemuda
pemegang sabuk hitam yang merupakan sabuk sekolah dengan logo SMA Raijinshu itu
menghela nafas bosan, ia terlalu bosan saat melihat para gadis memasang wajah
merona merah saat ditanya tentang soulmate mereka. Jujur saja, Halilintar
sendiri sebenarnya ingin melihat wajah malu-malu dari pujaan hatinya. Namun,
mau bagaimana lagi, ia sudah lelah mencari keberadaan sang belahan jiwa,
pasalnya ia sudah mencari sepanjang waktu, tapi yang didapat hanya alamat palsu.
“Kau
tak ingin menjawab pertanyaanku, Eren ?”
“Ah,
iya... Itu ... Saat itu aku melihatnya sedang duduk sendirian di bangku taman,
aku lalu mengatakan ‘ apa aku boleh duduk
disini ?’ yang ternyata adalah yang barcode miliknya. Ia lalu mengatakan ‘silahkan saja’ ”
“Itu
barcode ditanganmu, ya kan ?”
Si gadis dengan
rambut diikat ponytail itu hanya mengangguk. Setelah mendapatkan jawaban, atau
lebih tepatnya cerita dari teman si-tim karatenya, Halilintar lalu meneruskan
kembali pekerjaannya yang sempat tertunda. Ingatkan lagi dirinya jika ia harus
bergalau musi ke-2, silahkan saja karena adiknya dan temannya sudah menemukan
soulmate mereka, sedangkan dirinya masih harus menunggu si gadis pujaan hati.
Mendengar cerita
romantis teman-temannya, Halilintar sibuk memikirkan apa yang akan dia lakukan
untuk situasi yang sama. Pasalnya, dia bukan orang yang romantis, justru dia
dijuluki tidak sensitif. Ah, tapi untuk sang pasangan hidup, agar dia tersipu
sih, Halilintar mau saja jadi seromantis Shakespare. Sayangnya, ia tidak tahu
kalau Shakespare menulis cerita tragedi bukan romansa.
Pukul
19:15:04 di kamar Halilintar yang jam dindingnya dicepatkan sepuluh menit.
Malam minggu, malam
paling keramat dalam sejarah pemuda bersurai hitam itu, tak lain tak bukan
ialah karena pada malam inilah para jomblowan dan jomblowati mendapat kebebasan
untuk bergalau sepuasnya. Apalagi mengingat statusnya yang masih single, tak
masalah bukan, jika ia lebih memilih menghilangkan beban pikiran yang menumpuk
tinggi layaknya buku-buku di perpustakaan.
Dengan segera, ia
langsung menyambar topi dan jaket berwarna hitam merah kesukaannya. Dilangkahkan
kakinya menuju dunia luar. Angin yang dingin berhembus meniup lembut helai sewarna langit malam miliknya. Digunakan topinya kearah depan,
mencoba meminimalisir rasa dingin yang bisa menusuk hingga kebagian terdalam
epidermis.
Bulan bersinar terang,
ditemani ribuan bintang yang menjadi pendampingnya. Langit bahkan terlihat
begitu berbeda, terlihat sangat mempesona. Ia kini melangkahkan kaki di
pinggiran jalan dekat rumahnya, Jalan Kenangan namanya. Matanya mengawasi
dengan teliti tiap-tiap rumah yang ia lewati atau sekedar para manusia yang
berlalu lalang bersimpangan dengannya. Hingga tiba-tiba pandangan matanya
terfokus pada satu titik. Sebuah pohon mangga, berbuah lebat dan terlihat
menggoda. Teksturnya berair dan lembut, manis pula di lidah. Biarpun terlihat
sangar, faktanya lidah Halilintar sangat membutuhkan asupan glukosa. Coklat,
kue, pastry, manisan, semua akan tandas di mulut sang ketua karate.
Tengok kanan, tengok
kiri, depan dan belakang. Oke, aman. Ia langsung melompat-lompat demi menggapai
ranting terendah. Saat masih asyik lompat-melompat layaknya berada di konser
musik, ia tak sadar jika ada benda berkecepatan tinggi memiliki lintasan tepat
melewati tempat ia berburu mangsa. Sebuah suara melengking keras berasal dari
si pengendara.
“MINGGIR WOY !”
Halilintar hanya menengok sesaat
‘Oh, orang...‘
Batin
pemuda beriris merah darah itu dalam hati. Diedarkan
kembali pandangannya kearah mangga diatasnya.
‘Eh, tunggu…
orang... Skateboard…minggir...
kearahku...’
Halilintar masih berfikir.
1
detik
2
detik
10
menit
Eh, kelamaan. Setelah
mengetahui situasinya,
Halilintar langsung menengok kembali orang itu. Namun naas,
semuanya sudah terlambat, mengingat jalan yang ia pijak adalah jalan yang cukup
menurun.
Bruk
!!
Keduanya langsung
terpental di semak-semak di dekat
pohon mangga, apa daya, tak ada mangga, semak pun jadi.
“Aduh…
“
Remaja disebelahnya
meringis. Asal tahu saja,
Halilintar dinamakan Halilintar bukan karena gerakannya cepat, tapi karena
begitu dia marah… Laksana petir menyambar. Keras
dan mengelegar.
“SIA*** LO ! PUNYA
MATA NGGAK SIH ! LIAT-LIAT
KALO JALAN !”
Hingga akhirnya
remaja dihadapannya menengadahkan pandangan.
Ia memakai topi miring kekanan, rambutnya
hitam pendek, jaketnya berwarna biru dan biru muda,
dan warna matanya biru muda juga. Dan jangan
lupakan fakta jika topi Halilintar pergi entah kemana, membuatnya lebih
leluasa mengamati sosok di depannya,
iris semerah darah bertemu dengan iris secerah langit pagi. Ber-background-kan
cahaya bintang serta semilir angin sepoi-sepoi, sesaat Halilintar terpesona
oleh sesosok malaikat tak bersayap dihadapannya.
“Ka...
Kamu... Itu…“
Si remaja
biru langsung memperlihatkan pergelangan tangannya yang bertuliskan …
“SIA*** LO
! PUNYA MATA NGGAK SIH ! LIAT-LIAT
KALO JALAN !”
Lengkap dengan huruf kapital,
dan bertintakan merah terang. Halilintar pucat, diangkatnya pergelangan
tangannya.
“MINGGIR
WOY !”
Terlintas
dibenak si biru sesaat sebelum ia menabrak sang korban.
“Kamu… Soulmate ku
?...”
“Enggak
! Pasti salah ! Nggak
mungkin soulmate gue laki-laki !“
Bletak
!!
Sebuah perempatan
imajiner muncul dikepala sang pengendara yang
diketahui namanya Taufan. Ia memukul
kepala sang belahan jiwa dengan penuh kasih sayang #baca : kekerasan.
“Siapa
yang kau sebut laki-laki ?”
“Lantas
?”
Taufan lalu membuka
topinya, membuat rambut panjangnya yang tadi ia lipat masuk kedalam topi
terurai indah, belum lagi semilir angin yang mencoba
menerbangkannya. Dan lagi, Halilintar terpana. Ia
terpukau. Eh, tunggu,
gadis dihadapanya ini nampak manis sekali… Dan
yang manis, akan tandas di mulut Halilintar.
Halilintar tak
perduli kalau pertemuannya dengan si manis ini tidak seromantis adiknya atau teman
karatenya . tapi yang pasti, dia bersyukur pertemuanya dengan si pasangan
hidup diberkati pohon mangga yang berbuah manis
dan semak belukar yang seolah menjadi tahta mereka, dibawah cahaya temaran sang
purnama, disamping Jalan Kenangan. Dan
benar-benar akan menjadi kenangan, kenangan yang
antimainstream tentunya.
#THE END #
Komentar
Posting Komentar