SETETES DARAH KEHIDUPAN
SETETES DARAH KEHIDUPAN
Febby, dan Rasya adalah
dua orang sahabat. Mereka telah bersahabat sejak kelas tiga SD hingga sekarang
mereka yang telah duduk di bangku kelas satu SMP, mereka telah dipertemukan
kembali di SMP yang sama. Mereka kira, saat SMP nanti mereka tak akan
dipertemukan kembali, tapi ternyata Allah masih menyayangi mereka dan
mempertemukannya kembali. Rasya mempunyai suatu penyakit, kata dokter penyakit
itu sudah ada sejak ia SD tepatnya sewaktu kelas lima. Penyakitnya adalah
paru-paru, kedua paru-parunya sudah tak berfungsi kembali seperti layaknya
orang normal. Tapi untung saja ada seorang sahabat yang masih mau berteman
dengannya.
“Feb, kamu mau gak temenin aku ke taman?” ucap Rasya di telepon.
“Hmm gimana ya?” Febby bingung akan pertanyaan Rasya.
“Gimana, Feb? aku bosen nih di rumah terus.” Katanya sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
“Hmm sorry ya, Sya aku gak bisa. PR aku banyak yang numpuk.” Ucapnya sedikit ragu.
Tak seperti biasanya Febby seperti ini, seperti ada yang disembunyikannya padaku. Kata Rasya dalam hati.
“Ya sudah deh kalau kamu gak bisa temenin aku, sepertinya lain kali aja deh.” Ucap Rasya sedikit kecewa.
“Maaf banget ya, bukannya aku gak mau, tapi memang PR aku banyak banget. Maaf banget ya, Sya” ujar Febby meminta maaf.
“Ya sudah kalau gitu, aku mau pergi dulu deh” ucapnya sedikit kesal dan langsung menutup teleponnya.
“Hmm gimana ya?” Febby bingung akan pertanyaan Rasya.
“Gimana, Feb? aku bosen nih di rumah terus.” Katanya sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
“Hmm sorry ya, Sya aku gak bisa. PR aku banyak yang numpuk.” Ucapnya sedikit ragu.
Tak seperti biasanya Febby seperti ini, seperti ada yang disembunyikannya padaku. Kata Rasya dalam hati.
“Ya sudah deh kalau kamu gak bisa temenin aku, sepertinya lain kali aja deh.” Ucap Rasya sedikit kecewa.
“Maaf banget ya, bukannya aku gak mau, tapi memang PR aku banyak banget. Maaf banget ya, Sya” ujar Febby meminta maaf.
“Ya sudah kalau gitu, aku mau pergi dulu deh” ucapnya sedikit kesal dan langsung menutup teleponnya.
Setelah sampai di taman,
Rasya segera duduk di antara bunga-bunga yang ada di sekitarnya. Seketika, ia
melihat-lihat sekitar, dan alangkah terkejutnya ia, ketika melihat seseorang
yang tak asing dalam matanya. Sahabat yang tadinya mengatakan bahwa ia tidak
bisa menemaninya ke taman, kini bayangannya ada di depannya. Entah itu memang
benar dia atau bukan.
Jika itu memang benar Febby, apa mungkin dia membohongiku? jahat sekali dia! padahal tak pernah satu pun aku atau dia berbohong. Siapakah lelaki yang ada di sampingnya? bukankah itu Kak Rudy (orang yang Rasya suka)? ucapnya hampir meneteskan air mata ke pipinya yang berlesung pipit tersebut. Ia pun menghampiri mereka berdua.
“Tak menyangka, ternyata kamu juga ada di sini.” Ujarnya sambil mendekati Febby.
“Emm emm aku gak bemaksud, Sya. Aku bisa jelasin ini semua kok ke kamu” ucapnya gugup, dan seketika genggaman tangannya dengan Kak Rudy dilepas.
“Kenapa kamu lepas? terusin aja! gak apa-apa kok, yang penting kamu bahagia. Jangan hiraukan aku, aku masih enak kok hidup single.” jawabnya hingga membuat Febby merasa bersalah.
Ada apa ini? mengapa dua orang sahabat ini bertengkar? Apakah ada keterkaitannya padaku? Lebih baik aku pergi dari sini, dan semoga dengan ku ambil keputusan ini semua bisa damai. Ucap Rudy dalam hatinya.
“Hmm daripada aku di sini membuat kalian berantem, lebih baik aku pergi dari sini.” Ujarnya dan langsung pergi menjauh dari mereka berdua.
“Kenapa sih kamu harus bohong sama aku? Kamu jawab jujur aja, aku juga gak akan marah kok sama kamu.” Tanyanya kepada Febby.
“Gak mungkin kamu gak marah! Kamu juga suka kan sama Kak Rudy? Udah, nggak perlu bohong kamu! Aku tahu dari tatapan kamu seperti ada yang mengganjal” jawabnya panjang, dan mengalihkan perhatiannya.
“Terus kalau aku suka sama dia kenapa, apa itu salah? Kamu bersama dia aja aku udah ikhlasin, biar kamu aja yang ambil dia! Dia buat aku gak penting, yang penting hanya kamu! Apa kamu gak ingat sama penyakit aku? itu bisa datang kapan saja, dan masih ingat gak sama kata dokter? dokter bilang umur aku udah gak lama lagi, mungkin satu minggu itu udah Alhamdulillah. Ya sudahlah dari pada masalah ini tambah panjang, lebih baik aku pulang saja! gak penting ada di sini.” Ucapnya sedikit menahan air mata yang hampir jatuh dan membasahi pipinya. Ia langsung pergi dan meninggalkan Febby sendirian di taman.
“Rasya, tunggu aku…” Pintanya kepada Rasya.
Di saat Rasya ingin menyeberang jalan, ia tak sempat menengok kanan dan kiri jalan, ia hanya terfokus pada jalan lurus saja. Tiba tiba… Terdengar suara dari arah taman
“Rasya, awas…” Ucap Febby yang ketika itu sedang berada di depan pintu taman, terdengar suara
“Braakkk”
Suara tabrakan dari arah Rasya, ia tertabrak oleh sepeda motor, dan sepeda motor yang menabraknya kabur entah kemana arahnya. Febby langsung mendekat,
“Rasya…” Ucapnya sambil menangis.
Sya, kenapa kamu bisa tertabrak gini, sih? ini semua pasti salahku! seharusnya aku tadi menemani kamu pergi ke taman. Aku janji, aku gak akan kayak gini lagi. ucap Febby sambil terus mengeluarkan air matanya. orang orang sekitar pun membawanya ke rumah sakit terdekat. Tak henti-henti Febby terus menyalahkan dirinya.
Aku bodoh! mengapa bisa ku biarkan sahabatku sendirian, sedangkan aku bersama lelaki yang juga ia sayang? aku sangatlah jahat, egois! aku tak bisa hanya berdiam sendiri di sini saja! aku perlu membantu sahabatku yang sekarang sedang kritis. Ujar Febby di dalam hati sambil menyesali perbuatannya.
Jika itu memang benar Febby, apa mungkin dia membohongiku? jahat sekali dia! padahal tak pernah satu pun aku atau dia berbohong. Siapakah lelaki yang ada di sampingnya? bukankah itu Kak Rudy (orang yang Rasya suka)? ucapnya hampir meneteskan air mata ke pipinya yang berlesung pipit tersebut. Ia pun menghampiri mereka berdua.
“Tak menyangka, ternyata kamu juga ada di sini.” Ujarnya sambil mendekati Febby.
“Emm emm aku gak bemaksud, Sya. Aku bisa jelasin ini semua kok ke kamu” ucapnya gugup, dan seketika genggaman tangannya dengan Kak Rudy dilepas.
“Kenapa kamu lepas? terusin aja! gak apa-apa kok, yang penting kamu bahagia. Jangan hiraukan aku, aku masih enak kok hidup single.” jawabnya hingga membuat Febby merasa bersalah.
Ada apa ini? mengapa dua orang sahabat ini bertengkar? Apakah ada keterkaitannya padaku? Lebih baik aku pergi dari sini, dan semoga dengan ku ambil keputusan ini semua bisa damai. Ucap Rudy dalam hatinya.
“Hmm daripada aku di sini membuat kalian berantem, lebih baik aku pergi dari sini.” Ujarnya dan langsung pergi menjauh dari mereka berdua.
“Kenapa sih kamu harus bohong sama aku? Kamu jawab jujur aja, aku juga gak akan marah kok sama kamu.” Tanyanya kepada Febby.
“Gak mungkin kamu gak marah! Kamu juga suka kan sama Kak Rudy? Udah, nggak perlu bohong kamu! Aku tahu dari tatapan kamu seperti ada yang mengganjal” jawabnya panjang, dan mengalihkan perhatiannya.
“Terus kalau aku suka sama dia kenapa, apa itu salah? Kamu bersama dia aja aku udah ikhlasin, biar kamu aja yang ambil dia! Dia buat aku gak penting, yang penting hanya kamu! Apa kamu gak ingat sama penyakit aku? itu bisa datang kapan saja, dan masih ingat gak sama kata dokter? dokter bilang umur aku udah gak lama lagi, mungkin satu minggu itu udah Alhamdulillah. Ya sudahlah dari pada masalah ini tambah panjang, lebih baik aku pulang saja! gak penting ada di sini.” Ucapnya sedikit menahan air mata yang hampir jatuh dan membasahi pipinya. Ia langsung pergi dan meninggalkan Febby sendirian di taman.
“Rasya, tunggu aku…” Pintanya kepada Rasya.
Di saat Rasya ingin menyeberang jalan, ia tak sempat menengok kanan dan kiri jalan, ia hanya terfokus pada jalan lurus saja. Tiba tiba… Terdengar suara dari arah taman
“Rasya, awas…” Ucap Febby yang ketika itu sedang berada di depan pintu taman, terdengar suara
“Braakkk”
Suara tabrakan dari arah Rasya, ia tertabrak oleh sepeda motor, dan sepeda motor yang menabraknya kabur entah kemana arahnya. Febby langsung mendekat,
“Rasya…” Ucapnya sambil menangis.
Sya, kenapa kamu bisa tertabrak gini, sih? ini semua pasti salahku! seharusnya aku tadi menemani kamu pergi ke taman. Aku janji, aku gak akan kayak gini lagi. ucap Febby sambil terus mengeluarkan air matanya. orang orang sekitar pun membawanya ke rumah sakit terdekat. Tak henti-henti Febby terus menyalahkan dirinya.
Aku bodoh! mengapa bisa ku biarkan sahabatku sendirian, sedangkan aku bersama lelaki yang juga ia sayang? aku sangatlah jahat, egois! aku tak bisa hanya berdiam sendiri di sini saja! aku perlu membantu sahabatku yang sekarang sedang kritis. Ujar Febby di dalam hati sambil menyesali perbuatannya.
Setibanya di rumah
sakit, Rasya segera dibawa ke ruang UGD, karena kondisinya yang sangat kritis.
Tak berapa lama, seorang dokter yang merawat Rasya panik.
“Adik, pasien tabrak lari itu teman kamu ya?” kata dokter bertanya kepada Febby
“Iya, dok. Bagaimana keadaan teman saya?” jawabnya sedikit anic.
“Hmm, teman kamu banyak kekurangan darah, dan di rumah sakit ini tak ada persediaan darah yang cocok untuk teman kamu.” Jawabnya sedikit ragu.
“Memangnya apa golongan darah teman saya?”
“Golongan darah teman adik AB” ucap dokter tersebut
“Apa, AB? Apakah itu tidak salah, dok?” tanyanya penuh dengan mimik ekspresi penasaran.
“Ya, mana mungkin saya berbicara bohong?” jawab dokter tersebut sambil mengangkat bahunya.
“Aku ingat. Kalau tidak salah aku mempunyai golongan darah tersebut!” jawabnya sambil tersenyum bahagia.
“Apakah adik mau mendonorkan darah adik?” tanya dokter itu serius
“Tentu, aku akan mendonorkan sebagian darahku untuknya, dok.” jawabnya semangat.
“Baiklah, ayo ikut saya!” ucapnya mengajak Febby.
Febby dan dokter pun berjalan ke ruang operasi untuk mendonorkan darah Febby ke Rasya.
Tak berapa lama, seorang dokter yang merawat Rasya panik.
“Adik, pasien tabrak lari itu teman kamu ya?” kata dokter bertanya kepada Febby
“Iya, dok. Bagaimana keadaan teman saya?” jawabnya sedikit anic.
“Hmm, teman kamu banyak kekurangan darah, dan di rumah sakit ini tak ada persediaan darah yang cocok untuk teman kamu.” Jawabnya sedikit ragu.
“Memangnya apa golongan darah teman saya?”
“Golongan darah teman adik AB” ucap dokter tersebut
“Apa, AB? Apakah itu tidak salah, dok?” tanyanya penuh dengan mimik ekspresi penasaran.
“Ya, mana mungkin saya berbicara bohong?” jawab dokter tersebut sambil mengangkat bahunya.
“Aku ingat. Kalau tidak salah aku mempunyai golongan darah tersebut!” jawabnya sambil tersenyum bahagia.
“Apakah adik mau mendonorkan darah adik?” tanya dokter itu serius
“Tentu, aku akan mendonorkan sebagian darahku untuknya, dok.” jawabnya semangat.
“Baiklah, ayo ikut saya!” ucapnya mengajak Febby.
Febby dan dokter pun berjalan ke ruang operasi untuk mendonorkan darah Febby ke Rasya.
Tak berapa lama, Febby
keluar dari ruang operasi.
Jantungnya dalam keadaan berdegub kencang takut jika Rasya tak terselamatkan.
Keringat dingin pun keluar dari tubuh Febby, tetesan air dari matanya tak kunjung berhenti.
Ia sangat menyayangi sahabatnya itu, ia tak mau harus berpisah dengannya.
“Ya Tuhan, semoga saja Rasya dapat terselamatkan.”
Jantungnya dalam keadaan berdegub kencang takut jika Rasya tak terselamatkan.
Keringat dingin pun keluar dari tubuh Febby, tetesan air dari matanya tak kunjung berhenti.
Ia sangat menyayangi sahabatnya itu, ia tak mau harus berpisah dengannya.
“Ya Tuhan, semoga saja Rasya dapat terselamatkan.”
Tiba-tiba dokter ke luar dari ruang Rasya,
“Bagaimana, dok keadaan Rasya?” tanya Febby begitu serius
“Dia sudah siuman dari komanya.” Jawab dokter itu singkat.
“Bolehkah saya menemaninya, dok?” tanyanya begitu gembira
“Tentu saja, baiklah saya permisi dulu. Jaga temanmu itu!” perintah dokter ke pada Febby.
“Siap, dok” jawabnya tambah semangat.
“Bagaimana, dok keadaan Rasya?” tanya Febby begitu serius
“Dia sudah siuman dari komanya.” Jawab dokter itu singkat.
“Bolehkah saya menemaninya, dok?” tanyanya begitu gembira
“Tentu saja, baiklah saya permisi dulu. Jaga temanmu itu!” perintah dokter ke pada Febby.
“Siap, dok” jawabnya tambah semangat.
Dokter pun pergi meninggalkan Febby sendirian.
Febby mulai melangkahkan kakinya. Ia tak sabar ingin melihat kondisi sahabatnya itu.
Kreeekk, suara pintu ruangan terbuka.
“Rasya, gimana keadaan kamu?” tanya Febby mengawali pembicaraan
“Udah sedikit membaik, Feb” jawab Rasya pelan.
“Alhamdulillah, kalau begitu. Aku turut senang.” Katanya menenangkan
“Kenapa aku bisa di sini?” tanya Rasya sambil melihat sekeliling.
“Kamu habis tertabrak, lalu aku bawa kamu ke sini. Syaa, aku minta maaf ya. Mungkin karena aku, kamu jadi ada di tempat ini. Maafkan aku, Sya. Aku janji gak akan bohong sama kamu lagi. Aku nggak mau kehilangan kamu, Sya. Kamu sudah jadi sebagian dari hidupku. Kalau kamu pergi, hidupku sudah nggak ada penyemangat lagi. Kamu segalanya bagiku. Aku sayang kamu, Sya.” Air matanya turun deras membasahi pipinya.
“Iya, Feb, iya. Aku maafkan kamu. Aku juga sayaaang banget sama kamu. Kamu sudah ku anggap jadi kakak aku sendiri. Kamu selalu nasehatin aku, kamu selalu ada di sampingku. Hingga saat ini kamu temanin aku hanya seorang diri. Apa kamu nggak lelah, Feb?” jawabnya sambil meneteskan pula air matanya.
“Seluruh rasa lelahku sudah terbalaskan dengan kesembuhan kamu. Kamu sudah siuman aja serasa aku habis makan 5 porsi bakso ditambah jus melon. Hmm, aku jadi lapar.” Katanya sambil memegangi perutnya.
“Dari tadi kamu belum makan, Feb?” tanya Rasya khawatir.
Kasihan Febby, dia rela-relakan nggak makan hanya demi menungguku siuman. Hmm, kamu tiada duanya Febby. Meskipun kamu sudah bikin hati aku sakit, tapi itu nggak sebanding dengan pergorbanan kamu saat ini. Aku bangga punya sahabat seperti kamu, Feb. Katanya dalam hati
“Belum, Sya. Tapi nggak apa-apa kok, kamu jangan khawatir.” Ucapnya menenangkan.
“Ayo beli makan di dekat sini! Aku yang traktir deh.” Ajak Rasya ke pada Febby
“Hmm, memangnya kamu sudah kuat buat jalan-jalan?” tanyanya masih khawatir
“Kan ada kursi roda, Feb. Ayolah, aku juga sudah lapar. Kata dokter, aku boleh jalan-jalan, kalau bisa sih ke taman.” Jelas Rasya
“Ya sudahlah, aku menurut. Yuk aku bantu.” Membantu Rasya duduk di kursi roda
“Makasih Febby” ucapnya sambil menebarkan senyum manisnya.
“Sama-sama.” Jawab Febby sambil membalas senyuman itu.
Febby mulai melangkahkan kakinya. Ia tak sabar ingin melihat kondisi sahabatnya itu.
Kreeekk, suara pintu ruangan terbuka.
“Rasya, gimana keadaan kamu?” tanya Febby mengawali pembicaraan
“Udah sedikit membaik, Feb” jawab Rasya pelan.
“Alhamdulillah, kalau begitu. Aku turut senang.” Katanya menenangkan
“Kenapa aku bisa di sini?” tanya Rasya sambil melihat sekeliling.
“Kamu habis tertabrak, lalu aku bawa kamu ke sini. Syaa, aku minta maaf ya. Mungkin karena aku, kamu jadi ada di tempat ini. Maafkan aku, Sya. Aku janji gak akan bohong sama kamu lagi. Aku nggak mau kehilangan kamu, Sya. Kamu sudah jadi sebagian dari hidupku. Kalau kamu pergi, hidupku sudah nggak ada penyemangat lagi. Kamu segalanya bagiku. Aku sayang kamu, Sya.” Air matanya turun deras membasahi pipinya.
“Iya, Feb, iya. Aku maafkan kamu. Aku juga sayaaang banget sama kamu. Kamu sudah ku anggap jadi kakak aku sendiri. Kamu selalu nasehatin aku, kamu selalu ada di sampingku. Hingga saat ini kamu temanin aku hanya seorang diri. Apa kamu nggak lelah, Feb?” jawabnya sambil meneteskan pula air matanya.
“Seluruh rasa lelahku sudah terbalaskan dengan kesembuhan kamu. Kamu sudah siuman aja serasa aku habis makan 5 porsi bakso ditambah jus melon. Hmm, aku jadi lapar.” Katanya sambil memegangi perutnya.
“Dari tadi kamu belum makan, Feb?” tanya Rasya khawatir.
Kasihan Febby, dia rela-relakan nggak makan hanya demi menungguku siuman. Hmm, kamu tiada duanya Febby. Meskipun kamu sudah bikin hati aku sakit, tapi itu nggak sebanding dengan pergorbanan kamu saat ini. Aku bangga punya sahabat seperti kamu, Feb. Katanya dalam hati
“Belum, Sya. Tapi nggak apa-apa kok, kamu jangan khawatir.” Ucapnya menenangkan.
“Ayo beli makan di dekat sini! Aku yang traktir deh.” Ajak Rasya ke pada Febby
“Hmm, memangnya kamu sudah kuat buat jalan-jalan?” tanyanya masih khawatir
“Kan ada kursi roda, Feb. Ayolah, aku juga sudah lapar. Kata dokter, aku boleh jalan-jalan, kalau bisa sih ke taman.” Jelas Rasya
“Ya sudahlah, aku menurut. Yuk aku bantu.” Membantu Rasya duduk di kursi roda
“Makasih Febby” ucapnya sambil menebarkan senyum manisnya.
“Sama-sama.” Jawab Febby sambil membalas senyuman itu.
Mengapa wajahnya tampak
pucat sekali? Apakah ada yang disembunyikan oleh Rasya. Ya Tuhan, semoga dengan
ku ajaknya Rasya jalan-jalan, kondisinya tambah membaik. Aku masih khawatir
dengan dia. Katanya dalam hati.
“Kenapa melamun, Feb? Udah, ayo jalan!” katanya mengagetkan Febby
“Oh, nggak apa-apa kok. Ayo, udah siapp?” tanyanya.
“Okkee, siaapp” jawabnya bersemangat
Tuhan, tolong hilangkan rasa sakit aku ini Ya Allah, aku ingin selalu di dekat Febby. Hanya dia yang bisa menemaniku saat ini. Aku ingin di sisa-sisa hidupku ini yang mungkin tinggal beberapa hari ini terus bersama Febby. Pintanya dan membuat ia meneteskan air matanya.
“Sampai kapan pun aku akan selalu jagain kamu, Sya.” Janji Febby ke Rasya.
“Iya, Feb. Aku pegang janjimu.”
“Kenapa melamun, Feb? Udah, ayo jalan!” katanya mengagetkan Febby
“Oh, nggak apa-apa kok. Ayo, udah siapp?” tanyanya.
“Okkee, siaapp” jawabnya bersemangat
Tuhan, tolong hilangkan rasa sakit aku ini Ya Allah, aku ingin selalu di dekat Febby. Hanya dia yang bisa menemaniku saat ini. Aku ingin di sisa-sisa hidupku ini yang mungkin tinggal beberapa hari ini terus bersama Febby. Pintanya dan membuat ia meneteskan air matanya.
“Sampai kapan pun aku akan selalu jagain kamu, Sya.” Janji Febby ke Rasya.
“Iya, Feb. Aku pegang janjimu.”
Mereka pun pergi membeli
makan, cukup dengan membeli kotak bubur ayam. Setelah makan, mereka melanjutkan
pergi ke taman yang letaknya di halaman rumah sakit.
“Feb, aku udah gak tahan lagi. Dadaku sesak dibuat bernapas.” Katanya sambil memegang dadanya.
“Kamu yakin, Sya? Aku bawa ke UGD ya” katanya tak percaya.
“Iya, Sya. Tapi kamu harus di sampingku ya. Ku mohon..” pintanya kepada Febby.
Febby yang melihatnya tak kuat menahan tangisnya.
“Ya, Sya. Aku pasti akan ada di samping kamu.” Katanya meyakinkan
Mereka pun pergi ke ruang UGD.
“Feb, aku udah gak tahan lagi. Dadaku sesak dibuat bernapas.” Katanya sambil memegang dadanya.
“Kamu yakin, Sya? Aku bawa ke UGD ya” katanya tak percaya.
“Iya, Sya. Tapi kamu harus di sampingku ya. Ku mohon..” pintanya kepada Febby.
Febby yang melihatnya tak kuat menahan tangisnya.
“Ya, Sya. Aku pasti akan ada di samping kamu.” Katanya meyakinkan
Mereka pun pergi ke ruang UGD.
Sesampainya di ruang UGD
“Adik tidak boleh masuk” larang dokter kepada Febby.
“Tapi, dok. Dia meminta saya untuk tetap di sampingnya. Ku mohon dok.” Pinta Febby agar ia dibolehkan masuk.
“Hmm, baiklah. Adik boleh masuk” ucap dokter pelan.
Febby pun masuk ke dalam ruang Rasya, Rasya sedang berbaring lemas. Febby tak kuat untuk terus melihat keadaan Febby.
“Adik tidak boleh masuk” larang dokter kepada Febby.
“Tapi, dok. Dia meminta saya untuk tetap di sampingnya. Ku mohon dok.” Pinta Febby agar ia dibolehkan masuk.
“Hmm, baiklah. Adik boleh masuk” ucap dokter pelan.
Febby pun masuk ke dalam ruang Rasya, Rasya sedang berbaring lemas. Febby tak kuat untuk terus melihat keadaan Febby.
30 menit berlalu…
“Dik, bangun!! Teman adik sudah menunggu adik” kata dokter sembari menggoyangkan badan Febby.
“Apa? Rasya sudah sadar, dok?” ucapnya sedikit tak percaya.
Febby segera mendekat ke tempat Rasya.
“Febby, aku minta maaf karena pernah marah sama kamu. Aku kebawa emosi. Maafkan aku ya, Feb” katanya sambil menggenggam tangan Febby.
“Iya, Sya aku maafkan. Aku juga minta maaf karena aku, kamu jadi dirawat di sini.” Jelas Febby.
“Feb, makasih atas darah yang kamu donorkan ke aku ya, mungkin jika kamu nggak lakuin itu aku nggak akan ada di samping kamu saat ini.”
“Darahku telah menyatu di tubuhmu. Apapun yang terjadi kita harus tetap bersama..”
“Tapi, Feb mungkin ini sudah menjadi takdirku. Aku memang harus di sini. Tanpa kamu memberiku darah pun pasti aku tetap dirawat di sini hingga maut menjemputku” Katanya sambil menundukkan kepalanya.
“Apa maksud kamu? kamu nggak akan tinggalin aku kan?” tanyanya dengan menatap tajam mata Rasya.
“Aku nggak bisa janji, Feb. Umurku memang sudah tinggal sedikit. Mungkin beberapa jam lagi Malaikat Maut sudah datang menjemputku.” Jawabnya penuh dengan misteri
“Nggak, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku masih belum siap untuk kehilangan kamu. Aku belum siap, Sya. Belum siap…” katanya sambil menggenggam erat tangan Rasya.
“Aku mohon, kamu harus relain aku. Demi persahabatan kita, Feb” pinta Rasya.
“Tapii” kata Febby
“Aku hanya ingin ketenangan di alam sana” ucap Rasya menghanyutkan
“Apa aku tak salah dengar? mengapa hal ini terjadi?” katanya sembari membelakangi Rasya.
“Dik, bangun!! Teman adik sudah menunggu adik” kata dokter sembari menggoyangkan badan Febby.
“Apa? Rasya sudah sadar, dok?” ucapnya sedikit tak percaya.
Febby segera mendekat ke tempat Rasya.
“Febby, aku minta maaf karena pernah marah sama kamu. Aku kebawa emosi. Maafkan aku ya, Feb” katanya sambil menggenggam tangan Febby.
“Iya, Sya aku maafkan. Aku juga minta maaf karena aku, kamu jadi dirawat di sini.” Jelas Febby.
“Feb, makasih atas darah yang kamu donorkan ke aku ya, mungkin jika kamu nggak lakuin itu aku nggak akan ada di samping kamu saat ini.”
“Darahku telah menyatu di tubuhmu. Apapun yang terjadi kita harus tetap bersama..”
“Tapi, Feb mungkin ini sudah menjadi takdirku. Aku memang harus di sini. Tanpa kamu memberiku darah pun pasti aku tetap dirawat di sini hingga maut menjemputku” Katanya sambil menundukkan kepalanya.
“Apa maksud kamu? kamu nggak akan tinggalin aku kan?” tanyanya dengan menatap tajam mata Rasya.
“Aku nggak bisa janji, Feb. Umurku memang sudah tinggal sedikit. Mungkin beberapa jam lagi Malaikat Maut sudah datang menjemputku.” Jawabnya penuh dengan misteri
“Nggak, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku masih belum siap untuk kehilangan kamu. Aku belum siap, Sya. Belum siap…” katanya sambil menggenggam erat tangan Rasya.
“Aku mohon, kamu harus relain aku. Demi persahabatan kita, Feb” pinta Rasya.
“Tapii” kata Febby
“Aku hanya ingin ketenangan di alam sana” ucap Rasya menghanyutkan
“Apa aku tak salah dengar? mengapa hal ini terjadi?” katanya sembari membelakangi Rasya.
15 menit kemudian…
“Jawab dong, Sya!! Jawaaab!!” bentak Febby.
“Mengapa tak ada respon dari Rasya? suara detak jantungnya kok`” ia kembali menghadap ke arah Rasya
“RASYAAA!!!” Jerit Febby hingga terdengar oleh dokter yang ada di luar ruangan.
“Jawab dong, Sya!! Jawaaab!!” bentak Febby.
“Mengapa tak ada respon dari Rasya? suara detak jantungnya kok`” ia kembali menghadap ke arah Rasya
“RASYAAA!!!” Jerit Febby hingga terdengar oleh dokter yang ada di luar ruangan.
Febby merasa terkejut
ketika melihat Rasya sedang terlelap tidur dengan senyumnya yang manis itu.
Detak jantungnya tak terdengar seperti detak jantung orang normal biasanya. Ia
telah pergi ke alam yang lebih luas, lebih indah, dan takkan kembali lagi.
“Sya, kamu kok gitu banget sih sama aku. Kamu tinggalin aku begitu saja, tanpa sepengetahuanku.” Ucapnya sembari sekali-kali menitikkan air matanya.
Tiba-tiba dokter datang, dan ia akan membawanya ke ruang jenazah.
“Maaf, dik kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi jika Tuhan telah berkehendak, apa yang bisa kita lakukan? Teman adik sudah tidak ada, tolong ikhlaskan dia. Saya permisi dik” Kata dokter sambil membawa jenazah Rasya ke ruang jenazah.
Febby tak kuat melihat semua ini. Sahabat lamanya yang ia sayangi telah pergi terlebih dahulu meninggalkannya. Ia tak bisa berkata lagi, serasa penyemangat di hidupnya telah hilang. Tinggal harapan kosong yang ada di dalamnya.
“Sya, kamu kok gitu banget sih sama aku. Kamu tinggalin aku begitu saja, tanpa sepengetahuanku.” Ucapnya sembari sekali-kali menitikkan air matanya.
Tiba-tiba dokter datang, dan ia akan membawanya ke ruang jenazah.
“Maaf, dik kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi jika Tuhan telah berkehendak, apa yang bisa kita lakukan? Teman adik sudah tidak ada, tolong ikhlaskan dia. Saya permisi dik” Kata dokter sambil membawa jenazah Rasya ke ruang jenazah.
Febby tak kuat melihat semua ini. Sahabat lamanya yang ia sayangi telah pergi terlebih dahulu meninggalkannya. Ia tak bisa berkata lagi, serasa penyemangat di hidupnya telah hilang. Tinggal harapan kosong yang ada di dalamnya.
Keesokan harinya Rasya dimakamkan di pemakaman dekat rumahnya.
“Selamat tinggal sahabat, kau kan selalu ku kenang. Walau hanya di dalam hati dan pikiranku. Kau selalu yang terbaik bagiku. Aku takkan pernah melupakanmu. Aku akan terus menggapai mimpiku walau itu setinggi langit. Aku akan buat kamu merasa bahagia punya sahabat sepertiku.” Jelas Febby saat di makam Rasya.
“Selamat tinggal sahabat, kau kan selalu ku kenang. Walau hanya di dalam hati dan pikiranku. Kau selalu yang terbaik bagiku. Aku takkan pernah melupakanmu. Aku akan terus menggapai mimpiku walau itu setinggi langit. Aku akan buat kamu merasa bahagia punya sahabat sepertiku.” Jelas Febby saat di makam Rasya.
Ia kembali pulang ke rumahnya, dengan perasaan lega.
“Ternyata setelah dipikir-pikir, kasihan juga kalau Rasya masih di sini. Dia pasti masih merasakan sakit yang dia derita.” Ucap Febby begitu lega sudah merelakan kepergian sahabatnya.
“Ternyata setelah dipikir-pikir, kasihan juga kalau Rasya masih di sini. Dia pasti masih merasakan sakit yang dia derita.” Ucap Febby begitu lega sudah merelakan kepergian sahabatnya.
SELESAI.
Nama : Anita
Nur Faida
No : 09
Komentar
Posting Komentar