INDAHNYA CINTA DAN PERSAHABATAN
INDAHNYA CINTA DAN
PERSAHABATAN
Karya RIFKA AULIA
Pagi hari, yang cerah. Semua masih sama seperti biasanya. Namaku masih
tetap Rifka, masih tetap duduk di kelas 9. Dan masih bersekolah di SMP 1 KAPAS.
Rumah dan keluargaku juga masih sama.
Hanya satu yang berbeda, hatiku. Hatiku sedang hancur, mendapat kabar
buruk dari penghibur hatiku. Yang nyatanya, dia hanya memberikan harapan palsu,
saja. Bukan ‘perhatian’ yang ku kira.
“Ngelamun aja, yuk kantin”, sapa sahabat terdekatku,
Minda.
“Haha, yuk!”, aku spontan tertawa kecil, karena ‘merasa’ dikagetkan.
Halaman sekolahku tidak begitu luas, tapi sekarang, jaraknya terasa
sangat jauh. Saat Minda menanyakan; Kenapa aku ‘galau’ ?
Indahnya Cinta dan Persahabatan
Aku hanya diam, aku yakin dia sudah tau apa alasannya. Kemarin aku uda
luapkan semua cerita dan kesedihanku sama dia, bahkan tangisku..
“Udahlah gak usah terlalu dipikirin. Kita uda mau ujian lho La,
semangat! Kamu pasti bisa La, kamu kuat”, ucap Minda
menyemangatiku, saat ke luar dari kelas. Karena sedari tadi aku hanya diam.
Tetep aja, aku diem dan hanya membalasnya dengan senyuman.
“Iya La, nanti ga bisa masuk SMADA, mati kau!”, canda Azza,
yang juga sahabatku. Ini sangat menggelikan. Aku dan semua sahabatku, sontak
tertawa. Dia memang sahabat yang paling berbeda dari yang lain. Dia sangat
humoris. Dia-lah perncair suasana kita.
“Yuk balik, udah bel tuh. Denger ngga?”, ajak Azza
kepadaku dan yang lainnya, dengan nada semangat.
“Yuk”, jawab kita serempak dan disertai dengan anggukan dari yang lain.
“Ma-te-ma-ti-ka”, begitulah aku mengeja kata
yang tertempel di sampul buku tulis berwarna cokelat ini.
Seperti biasanya, kami berkelompok untuk mengerjakan beberapa soal
untuk persiapan ujian. Nama kelompok ku Fidayodela, terdiri dari beberapa anak
kece; Fitri, Dava, Yovie, Desthi dan aku, Laila. Menurut penglihatan
temen-temen dari kelompok yang lain, kelompok ku adalah yang ternyaman! Karena
kami konsekuen dengan hak dan kewajiban kami. Saatnya serius kita konsentrasi,
saatnya free kita bener-bener gila. Pokoknya nyaman dan nyenengin kok!
Seperti hari biasanya, aku sama temen-temen pulang naik bus, angkutan
umum. Tapi, aku ngerasa ada yang beda dari biasanya, semua temen-temenku dari
tadi senyum dan ketawa ga jelas. Mencurigakan. Yakin, pasti ada yang mereka
sembunyiin.
Ini lagi.. Aku ngga ngerti sama perilaku Minda, yang ini. Dia mau duduk
bentar di tengah jalan mau ke halte. Aku sih nurut aja. Awalnya, aku cuman
fokus sama cemilan di tanganku ini. Tapi kok, tiba-tiba...
“Ada yang dateng! Aku mau pergi! Aku ngga mau di sini! Aku benci dia!”, teriak ku dalam
hati. Sekarang, aku telah melahap habis cemilanku. Bingung asli, mau ngapain.
Fix, aku salting.
“Minda, ayo pulang..”, kataku sama Minda yang
baru asyik ngobrol sama temen yang lain.
“Nanti dulu ah La”, jawab Minda, santai. Dia
bener-bener gak mikirin aku yang dari tadi salting, dan muak liat...
“Gawat! Ini bener-bener gawat. Tuhan...”, aku pengen
teriak sekenceng-kencengnya, berharap temen-temen denger dan bakal segera
pulang.
Entah kapan waktu uda mulai berdetik, dia... Iya, dia. Fauzan. Uda
turun dari sepedanya dan sekarang jalan, menghampiri aku.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, boleh?”, ujarnya dengan
nada lembut dan tanpa ku sadari, aku mengangguk.
Aku lihat sekelilingku. Masih sama, masih temen-temenku aja yang di
sini. Dan masih saja, mereka sibuk ngobrol. Seperti tidak tau, aku ‘akan’ ngobrol sama
Fauzan. Atau mungkin berpura-pura tak tau(?)
Aku duduk. Tepat di depan dia berdiri. Capek tau berdiri.
“Aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu”, kata Fauzan
dengan singkat. Jelas. Mendarat tepat di telinga. Mengebom hatiku. Meledaklah,
duar!
Sekejap aku mengangkat pandanganku yang sedari tadi melihat ke bawah.
Aku diam, menatapnya. Aku usir pandanganku ke sekitar. Aku makin diem, bahkan
sekarang aku membelakkan mata. Hampir semua teman satu kelas aku, di sini.
Ngeliat ini. Rasaku amburadul.
Aku ngga pernah nyangka, ternyata dia memendam ini(?) pengen banget aku
bilang ke dia, “Maafin aku yang udah buruk sangka sama kamu. Aku uda ngira, kamu cinta
sama orang lain dan menganggapku cuman sebagai pelampiasan kamu”. Tapi ku
urungkan niatku.
“Aku juga cinta sama kamu”, jawabku lirih. Agar tak
ada temen yang denger. Ternyata hipotesaku nol. Temen-temen uda tukeran telinga
sama kelelawar. Mereka semua denger. Semua teriak, menggodaku.
“Mau ngga jadi pacarku?”, katanya dengan singkat di
tengah-tengah teriakan temen-temen. Lalu semua diam. Aku melihatnya, lebih
lekat. Aku lihat ada harapan besar di matanya.
Aku menunduk, lagi. Aku ngga tau harus berkata apa. Aku punya prinsip,
ngga mau pacaran selama aku belum memiliki ‘ikatan suci’.
Tapi, di samping itu.. Aku juga pengen hangout, makan bareng dan
seneng-seneng yang lain, sama lawan jenis. Aku pasti bahagia. Dunia ini milik
aku. Karena, cinta datang dengan senyum kecil yang sangat manis.
“Min...da?”, kataku dengan memberikan isyarat bahwa aku membutuhkan solusi.
“Udah, terima aja Lai!”, ujar Yulia bersemangat.
“Iya, nanti nyesel loh”, ujar Fitri dengan senyum
manisnya.
Semua temanku pun berujar...
“Terima aja, anggap ini cuman ‘status’. Kamu masih bisa
jaga diri kamu. Tetap istiqomah sama prinsip kamu. Aku yakin, pasti Fauzan
bakal ngebantu kamu buat jaga prinsip kamu. Dia ngga mungkin nyakitin kamu”, bisik Minda.
Aku peluk dia, erat.
“Iya, aku mau”, jawabku dengan senyum kecil untuknya. Semua temen-temen teriak,
gempar.
Akhirnya, aku berlalu dari dia. Kami berjalan menuju halte, tempat kita
biasa nunggu bus.
Aku seneng, aku sangat bersyukur kepada Allah. Semoga Allah ngga marah
sama aku. Aku bisa miliki cinta di hati aku dengan sebuah jawaban pasti. Aku
sangat menikmati hidup dengan cinta yang aku punya, dengan Fauzan.
Komentar
Posting Komentar