AYAH TIRI
AYAH TIRI
Malam
ini aku sibuk membantu ibu dan kakak. Hari ini adalah peringatan 100 hari
kematian Ayah. Tepat 100 hari lalu, ayahku pergi meninggalkan kami. Ayahku
adalah seorang penambang batu dan beliau
meninggal saat bukit yang digunakan
untuk menambang batu tiba-tiba longsor. Hanya ayahku satu-satunya korban
meninggal dalam peristiwa tersebut. Kini
aku hanya tinggal bersama ibuku dan kakak perempuanku yang bernama Salma. Kami
bukanlah konglomerat. Sejak ditinggal ayahku, ibuku bekerja di sebuah kantin
perusahaan. Kini aku menduduki bangku kelas XI di salah satu SMA di Gorontalo,
sedangkan kakakku terpaksa berhenti kuliahnya yang baru memasuki semester tiga
dan memutuskan untuk membantu keluarga dengan bekerja sbagai pegawai restoran. Setelah selesai membereskan,
ibuku duduk disalah satu kursi yang ada diruang tengah, kemudian ibu menyuruh
kami untuk duduk bersamanya. Saat kami sudah duduk sepertinya ada sesuatu yang
akan disampaikan ibu. “Nak
hari ini adalah hari peringatan 100 hari kematian ayah. Ibu sudah cukup tua,
ibu tidak mungkin bekerja terus menerus
dan ibu kemaren di datangi sama Om Fauzi, dia ingin meminang ibu.
Bagaimana menurut kalian ? ibu yakin Om Fauzi akan bertanggung jawab” jawab
ibuku dengan mantap. “Kalau
itu memang keputusan ibu, ya kita setuju saja bu” kak Salma tersenyum untuk
meyakinkan ibu. Mungkin
ini memang jalan yang diberikan Tuhan untuk ibuku. Mungkin dengan adanya Om
Fauzi beban hidup keluarga kami bisa sedikit berkurang. Sebulan kemudian ibuku menikah dengan Om Fauzi,
pernikahan itu hanya berlangsung sederhana. Sejak hari itu, Om Fauzi resmi menjadi ayah baruku. Setelah memasak untuk
makan malam, ibuku menyuruhku untuk memanggil Om Fauzi yang tengah bersantai
diruang tamu. “Ehm,
Om sudah waktunya makan malam mari” ajakku sesopan mungkin. “Rahma
sini duduk sama bapak, bapak ini sudah resmi menikah dengan ibumu, apa kamu mau
memanggil seperti itu” Aku menundukkan kepalaku takut kalau Om Fauzi akan
marah. “ bapak
tahu, tapi bapak tidak akan memaksa kamu untu memanggil sesuai keinginan bapak,
ayo kita keruang makan pasti ibu dan kakakmu sudah menunggu.” Seharusnya memang aku memanggil beliau dengan
sebutan bapa, tapi aku belum terbiasa dengan sebutan itu. Saat
mau berangkat sekolah aku menemui ibu terlebih dahulu. “Bu
minggu depan Rahma sudah ujian akhir
semester dan SPP bulan ini harus lunas.” Ucapku pada ibu. “Iya
akan ibu usahakan, sebenarnya ibu juga tidak punya tabungan, tapi akan ibu usahakan.” “Gimana kalau kita pinjam uang ke Om Fauzi aja
bu, hanya 120 ribu bu.”usulku “Kenapa
harus pinjam, kamu sekarang sudah jadi anak bapak, ma” sahut Om Fauzi yang
tiba-tiba ada dibelakang kami. Aku segera menundukkan kepalaku karena lagi-lagi
aku ketahuan kalau aku belum bisa beradaptasi dengan Om Fauzi yang statusnya
sudah menjadi ayah tiriku. “Berapa
uang SPP mu?.” Tanya Om Fauzi. “120
Om.” Jawabku dengan nada rendah. “Ini
cepat dibayarkan supaya kamu bisa ikut
ujian.”ucap beliau seraya memberikan uang. “Lho
om, ini uangnya lebih.” Sambil menyerahkan uang.
“Sudah, itu sebagai uang jajanmu,
sebagai bapakmu sudah wajib bapak memberikan uang saku kekamu.” Jawab Om Fauzi. “Terima
kasih Om.” Dan aku berpamitan untuk berangkat sekolah.
Setelah berpamitan kepada ibu
dan om Fauzi aku segera keluar rumah dan berangkat sekolah. Di tengah
perjalanan menuju ke sekolah, aku memikirkan sikap om Fauzi yang sangat baik
padaku. Tapi kenapa aku masih belum bisa memanggilnya dengan sebutan bapak? Apa
susahnya hanya dengan memanggil Bapak? Tapi kembali lagi, semuanya itu perlu
proses. Maafkan aku om Fauzi. Sepulang
sekolah aku sengaja tidak menaiki sepedaku. Aku menuntun sepedaku melewati
trotoar jalan. Saat aku tengah sibuk melihat kendaraan yang berlalu lalang, aku
melihat ada om Fauzi yang juga menuntun motornya sepanjang jalan. Kuperhatikan
beliau yang semakin dekat ke arahku. Aku pun memberanikan diri untuk menyapa. “Om
Fauzi.” Kemudian beliau menoleh dan tersenyum mendapatiku yang memanggil
beliau. Akupun menaiki sepedaku dan menuju om Fauzi. “Motor
om kenapa?.” Tanyaku saat sudah sampai di depan beliau. “Ini bensinya
habis.” Ujar om Fauzi masih dengan tersenyum. “Itu
didepan ada pejual bensin. Ayo beli disana, om.” Ujakku dan om Fauzi menuruti. Setelah diisi bensin
om Fauzi mengeluarkan dompetnya, kemudian menutupnya kembali. Kulihat beliau
menghampiri penjual bensin tersebuk sambil berbisik. Namun, aku terkaget
mendengar suara penjual bensin itu yang tiba-tiba marah. “Nggak
bisa, pak. Pokoknya harus bayar sekarang. Disini nggak ada ngutang!” bentak
penjual bensin itu. Kuhampiri mereka berdua untuk mengetahui situasi yang
sebenarnya. “Ada apa pak kok marah-marah?”
tanyaku pada penjual bensin itu. “Ini
bapak kamu mau ngutang bensin ditoko saya. Disini tidak menerima utang” ujar
penjual tersebut dengan nada tinggi. “om
Fauzi benar-benar tidak punya uang?” tanyaku pada om Fauzi. “Bapak
baru gajian besok, jadi bapak belum punya uang.” Ujar om Fauzi. “Lalu
kenapa om Fauzi memberikan uang pemberian uang om ke Rahma tadi pagi?” tanyaku
namun om Fauzi hanya diam. Kemudian aku memberikan uang pemberian om Fauzi
kepada penjual itu. Setelah menerima kembalian, ksmi pun segers pulsng ke rumah. Seusai
sholat ashar aku menghampiri om Fauzi yang tengah menghisap rokoknya di teras
depan rumah kami. “Om
ini uang pemberian om tadi pagi. Kalau om belum punya uang, lebih baik uang ini
untuk om. Rahma punya tabungan, jadi Rahma bisa menggunakan tabungan Rahma
dulu.” Ucapku memecahkan lamunan om Fauzi. “Rahma,
bapak kan sudah bilang, ini kewajiban bapak untuk menafkahi kalian. Bapak harus
menanggung beban hidup kalian. Bapak sudah janji untuk menjaga kalian. Jadi ini
resiko bapak. Kamu nggak perlu bersikap sungkan gini sama bapak.” Jawab om
Fauzi sambil tersenyum ke arahku. “Trima
kasih, bapak.” Aku tersenyum pada diriku sendiri. Akhirnya kata itu berhasil
keluar dari mulutku. Ternyata tak selamanya ayah tiri itu tak baik. Banyak orang
bilang bahwa orang tua tiri itu tak sebaik orang tua kandung kita. Namun,
semuanya itu hanya pendapat orang. Aku membuktikannya dengan keberadaan bapak,
beliau bahkan seperti ayah kandungku sendiri. Terima kasih Bapak.
Komentar
Posting Komentar