SETANGKAI BUNGA EDELWIS
SETANGKAI BUNGA EDELWIS
Kurasa hangat indahnya sang
mentari dan kicau burung yang bernyanyi, kini aku siap untuk menjalani hari
ini. Udara yang diam begitu indah. Pagi itu terlihat seseorang berdiri tegap di
depan pagar rumahku dengan kacamata khasnya.
“Dinda cepat ini udah siang!”
Ya, dia adalah Andi sahabat sekaligus
tetangga terbaikku, rumahnya berada tepat didepan rumahku. Dari dulu kami
dibesarkan bersama-sama meski kehidupan kami berbeda aku yang memiliki keluarga
yang sibuk dengan urusannya sendiri sedangkan Andi hidup penuh perhatian.
Perhatian itulah yang menyebabkan kami selalu bersama, hingga akhirnya
persahabatan kami merenggang. Ketika aku mulai dekat dengan seorang atlet
basket disekolahku bernama Bryan.
Tak
bisa kupungkiri lagi, aku mulai merasa kehilangan. Terlebih lagi Andi seperti
berusaha untuk menghindar dan menjauh dariku. Saat itu, aku melihat Andi sedang
duduk ditaman. Saat itu pun aku menanyakan mengapa Andi menjauhiku. Namun
dengan lirih Andi berkata,
“Bukan kamu yang salah, tapi aku yang udah
menodai persahabatan kita”
Tanpa mencegahnya pergi, aku terdiam dan
termenung cukup lama hingga tanpa sadar air matakku menetes dan sejenak dunia
ini mendadak menjadi gelap.
Aku kembali tersadar namun yang kurasakan
hanya gelap, aku mulai panik namun mama menenangkan, beberapa lama mama
berbicara suaranya lirih.
“Din, kata dokter kamu mengidap penyakit
Retinopati diabetik, dan bisa menimbulkan kubutaan. Tapi dinda jangan khawatir
ya mama selalu support Dinda”
Dua minggu aku dirawat di RSUD, setiap hari
Bryan datang menjengukku. Begitupun Andi. Suatu saat Andi membawaku ke sebuah
taman dekat rumah sakit.
“kata orang bunga Edelwis itu lambang
kesetiaan loh ndi. Aku pengen dapet bunga itu, dihari terakhirku disini. Andi
jangan suka usil ya kalau nggak ada Dinda”
“aku nggak suka kamu bilang gitu, Din”
Tiga
hari berlalu tapi Andi tak kunjung menjengukku hingga tiba saatnya aku
menjalani operasi mata, kebetulan ada salah satu pendonor yang baik hati mau
mendonorkan matanya. Setelah aku bisa melihat Andi juga tidak datang
menjengukku hanya sepucuk surat dan setangkai bunga Edelwis yang ditetapkan
Andi pada Bryan, aku mulai membacanya
Dinda Cahaya Mentari,
Saat kau menerima
surat itu, itu berarti aku telah pergi dengan tenang. Jangan gunakan matamu
untuk bersedih karena dua mataku hanya ingin menemanimu tersenyum. Aku harap
kamu memaafkanku karena telah menghindar. Ini ada setangkai bunga Edelwis
untukmu. Hanya ini yang aku bawa untuk salam perpisahan kita.
Dari sahabat yang mencintaimu,
Andi Ardiansyah
Setelah aku
membaca surat ini, baru aku sadar sahabatku telah pergi meninggalkannya namun
dua matanya akan tetap ada.
Bukan sepatah kata yang biasa, tetapi sebuah rasa yang muncul dari
hati. Tak terlihat namun dapat dirasakan, mungkin dulu aku selalu mengartikannya.
Namun kini kusadar betapa besar dan berharga maknanya. Mengenal seseorang belum
tentu kita menyayanginya, tapi menyayangi seseorang sudah pasti kita
mengenalnya.
Komentar
Posting Komentar